#WORDISME

Alias “Word is Me”! Itu judul seminar sehari tentang penulisan yang saya ikuti Sabtu (19/11) lalu di gedung Kompas-Gramedia Palmerah. Seminar yang tak asing lagi bagi lulusan Jurnalistik seperti saya. 🙂

Kalau ditanya, kenapa sih saya ikut seminar itu? Salah satunya adalah saya sangat rindu menulis. Saya ini alumni baru jurusan Jurnalistik. Awal-awal cari pekerjaan, sebenarnya saya menghindari melamar ke media. Dengan alasan, ingin cari pengalaman kerja di bidang lain. Tidak ada yang terima. Dan mungkin hukuman bagi pembangkang seperti saya adalah, waktu saya akhirnya melamar ke media, yang ada saya ditolak. Huks.

Lamaran saya malah diterima oleh anak perusahaan salah satu bank BUMN di Indonesia. Di sini, bakat dan keterampilan menulis sama sekali tidak dibutuhkan. Saya merasa nestapa. Makanya, waktu luang saya di kantor, saya habiskan di depan layar komputer dengan tangan menempel di papan ketik. Saya menciptakan kecintaan sendiri.

Malahan sebelum benar-benar bekerja dan masih ikut training dari pagi sampai sore, saya merasa waktu berlalu seperti kekurangan maknanya. Saya tahu penyebabnya: saya sudah lama tidak menulis.

Sampai suatu saat, saya mampir ke linimasa mbak Alberthiene Endah. Saya tahu dia penulis tapi tidak benar-benar memerhatikan karyanya. Saya hanya tahu dia karena penduduk Twitter menyebut dia sebagai korban bully. Di salah satu kicauannya, Mbak AE mengumumkan bahwa akan ada one day writing workshop yang terbuka bagi siapa saja, asal disetujui panitia. Saya mendaftar dan sekitar dua minggu kemudian mendapat konfirmasi diterima sebagai peserta #wordisme dan mendapat susunan acara.

Seminar #wordisme bagaikan oase di gurun yang saat ini tengah saya tempati. Saya bersemangat lagi, seperti bertemu dengan teman lama yang sangat akrab. Bagaimana tidak, saya mendengarkan hal-hal berharga tentang sesuatu yang saya cintai, yang sudah sangat akrab di telinga dan pikiran saya. Dan sesuatu yang (ehemm) saya kuasai juga.

Seminar dibuka oleh @myArtasya si penyiar radio cantik yang sudah tenar itu. Dia memanggil Indah dari majalah Dewi untuk menjadi moderator untuk bincang-bincang mengenai Penulis Majalah. Bintang tamu untuk bincang-bincang itu adalah dua redaktur senior dan sudah tak diragukan lagi kiprahnya di dunia majalah perempuan. Yang satu senior saya di Jurnalistik, redaktur majalah Femina, yakni Mba Pettu dan redaktur senior di Kompas-Gramedia yaitu Reda Gautama.

Fokus kedua pembicara adalah penulis lepas di majalah perempuan. Sejatinya, penulis lepas harus mengerti benar karakter media yang dia tuju sehingga tahu cara memilih angle atau sudut pandang dan gaya tulisan. Jangan sampai penulis ingin mengirimkan tulisan ke majalah Femina dengan angle yang khas majalah Chic dan gaya penulisan majalah Dewi. Kalau kata Mbak Reda, kalau ingin mengirim tulisan, penulis lepas setidaknya membeli majalah yang ia tuju dan pahami majalah itu: karakter, cara penulisan, dan pemilihan angle-nya. Itu kunci sukses jadi penulis lepas.

Kemudian, seminar membahas penulisan biografi yang dibawakan oleh Alberthiene Endah (yang ternyata Ketua Umum #Wordisme). Mba AE cerita panjang lebar tentang pengalamannya mewawancarai KD, alm. Chrisye, Probo Sutedjo, dan Titiek Puspa sehingga akhirnya menulis biografi tentang tokoh-tokoh terkenal itu. Mbak AE yang mantan wartawan Femina ini mengatakan penulis biografi harus menggali perasaan terdalam dari narasumber dan mematikan perasaannya sendiri di waktu bersamaan. #puyengsendiri

Topik selanjutnya yang dibahas ialah penulisan blog. Kalau ingat blog, pasti semua orang kenal blogger kocak nan terkenal yang blog-nya sudah dibukukan alias Raditya Dika. Ya, Radit jadi bintang tamu di perbincangan kedua bersama Aulia alias Ollie alias @salsabeela. Kedua penulis blog yang masih muda ini bercerita tentang sejarah mereka bikin blog dan apa yang bisa jadi ide untuk diposting jadi tulisan blog. Karena sudah pernah mewawancari Raditya Dika secara langsung dengan topik serupa, saya tidak begitu memerhatikan perbincangan sih. Hehe. Tapi saya tertarik sekali dengan kisah Mbak Ollie yang sangat kreatif menjadikan tantangan menjadi peluang. Konon, Mbak Ollie ini pernah bikin buku tapi ditolak sama penerbit. Akhirnya dia punya ide bikin satu wadah untuk menampung jeritan hati orang-orang yang mengalami hal serupa. Mbak Ollie menciptakan nulisbuku.com. Di situ, orang-orang yang punya tulisan berbentuk novel atau apapun bisa memosting karyanya. Nah, kalau orang-orang suka, baru deh dicetak dan dijual. Keren yah!

Setelah istirahat makan siang, seminar berlanjut dengan topik “Menulis Fiksi”. Dua jagoan saya dalam bidang ini jadi bintang tamu: Clara Ng dan Djenar Maesa Ayu. Penulis novel yang sukses di pasaran itu buka-bukaan terhadap alasan mereka menulis, apa saja yang harus dilakukan untuk menulis fiksi. Yang terutama bikin plot, tentukan karakter, dan disiplin dalam menulis. Ide bisa datang dari mana saja. Ide itu murah. Jadi, jangan disia-siakan. Selain kedua penulis fiksi itu, ada dua editor kenamaan yang tampil. Dua-duanya sudah saya “kenal” dulu di Twitter. Mba Hetih dan Windyariestya bagi-bagi pengalaman dan tips supaya peserta yang mau nerbitin buku, tidak melakukan kesalahan berulang dan bukunya bisa sukses di pasaran. 😀

Topik terakhir yang jadi perbincangan ialah Menulis Skenario untuk Film dan Sinetron. Pembicaranya ada tiga, si celebtwit @aMrazing alias Alexander, penulis scenario merangkap sutradara Salman Aristo, dan Adithya Gumay. Menurut ketiga pembicara, menulis scenario itu berarti penulis harus bisa membuat tulisan direalisasikan ke dalam gambar. Dan ini butuh kreativitas tinggi.

Seminar ditutup dengan pembagian hadiah door prize yang sayangnya tidak saya menangkan. Tapi saya bersyukur sekali bisa dapat pengetahuan berharga, ditunjukkan kembali ke jalan yang saya cintai, bertemu dengan teman-teman kuliah dengan tak disengaja, kenalan dengan orang baru, dan dapat berbagai buku serta majalah menarik. Yang terutama, saya mendapatkannya secara gratis. *senyum lebar*

Rumor yang beredar mengatakan seminar serupa akan diadakan di berbagai kota. Tunggu saya ya, pemirsah! Semoga kalian beruntung seperti aku. Sekian dan mari menulis lagi. 🙂

Diajarin Menulis (7) – Bahasa

Bahasa Indonesia: Pelajari dan Cintai

Sejauh ini, tiada yang menggugah saya sedemikian rupa selain bahasa. Sungguh saya sangat mencintai bahasa. Sejauh ini yang bisa membuat saya sangat amat bergairah ialah ketika membaca tulisan dengan bahasa yang indah atau ucapan seseorang yang benar-benar “sadar bahasa”. Dan saya tidak bisa tidak bersyukur di abad-abad lalu Tuhan menghukum bangsa Babel sehingga terciptalah keragaman bahasa seperti yang saat ini kita rasakan. Memang, setiap perbuatan Tuhan mendatangkan kebaikan pada manusia (walaupun tidak selalu enak di awalnya). 🙂
Baca lebih lanjut

Diajarin Menulis (6)

“Akhirnya datang juga.” Mungkin itu yang akan dikatakan Bang Sam (dan jutaan pembaca lainnya. Halahalah) waktu membaca tulisan saya yang ke enam tentang Kelas Menulis. 😀 Hidup terasa begitu cepat waktu saya mempersiapkan topik untuk penelitian/skripsi saya. Akibatnya, saya seperti keasyikan sendiri berkutat dengan perihal idealisme dan konglomerasi media itu. Parahnya, saya kadang sampai lupa punya tugas menulis sehingga harus tidur kurang dari dua jam untuk menyelesaikan tugas ke lima untuk dikumpulkan ke Bang Sam. *buka kartu sendiri*

Ide tulen bagai lampu yang menerangi 🙂

Pada pertemuan keenam, Bang Sam kembali menegaskan perihal kerangka tulisan. Namun kali ini difokuskan pada perumusan ide. “Tulisan mengabadikan ide,” begitulah Bang Sam berujar pada kami. Dan, saudara-saudara, ada berbagai jenis ide. Yang pertama ialah ide tulen. Ide semacam inilah yang kita dapat di tulisan-tulisan yang setelah membacanya kita akan manggut-manggut dan berpikir, “Bener juga ya kata penulisnya!” Ide tulen ini sangat khas, ia menerap ide luar diri dan diubahkan menjadi ide yang khas sendiri. Jadi satu topik yang sangat umum bisa ditulis oleh beberapa penulis dengan kekhasan masing-masing.
Baca lebih lanjut

Diajarin Menulis (5)

Halo Pembaca! Sepertinya sudah banyak yang menunggu saya membeberkan apa yang terjadi di Kelas Menulis bersama Bang Samuel. 😛 Sabtu (23/10) siang, saya dan teman-teman seperjuangan berkumpul untuk diajarin menulis. Karena sudah pertemuan kelima, seharusnya ada peningkatan. Kalau mau tahu kemampuan menulis saya meningkat atau tidak, tanyakan saja pada Bang Sam. (Kayanya sih nggak juga! 😀)
Pada pertemuan terakhir, Bang Sam menjelaskan tentang menyampaikan ide melalui kerangka tulisan Ia mengistilahkan ide sebagai “roh” dan kerangka tulisan sebagai “jasad” dalam sebuah tulisan. Menarik, bukan? Ya, saya sebenarnya sudah tahu perihal kerangka tulisan ini. Tapi oh tetapi, jarang sekali mengaplikasikannya dalam kegiatan menulis sehari-hari.

Kenapa, Tina? Tentu saja karena malas dan tidak mau repot. Apalagi kalau cuma mau bikin tulisan yang tidak sampai seribu kata. Seingat saya, kerangka tulisan saya bikin kalau mau tulis feature yang cukup panjang dan terlalu banyak hal untuk diingat –jadi harus dituliskan dalam kerangka. Selain itu, selama ini saya tidak begitu anggap penting kerangka tulisan. Toh, tanpa kerangka, saya masih bisa menghasilkan tulisan. Selama ini saya pikir, membuat kerangka itu ribet, ngerepotin doang. Dan Bang Sam mengubahkan pikiran itu. (Tsaahh!)

Baca lebih lanjut

Diajarin Menulis (4) – Kekhawatiran

Sebenarnya ketakutan itu cuma ada di pikiran. Kita saja membiarkannya menguasai kita. Jadi jangan salahkan jika kita dicap “kaum tak percaya” sama Yesus sendiri ketika yang ada di hati dan logika hanyalah kekhawatiran. Kita khawatir sama nilai-nilai kita. Khawatir kalau akhir bulan datang dan persediaan di rekening sangat tipis. Khawatir itu memang tanda tak percaya. Padahal, siapa sih yang lebih tahu, kita atau Tuhan?

"Ketakutan itu cuma ada di benak," Bang Suandi ingatkan

"Ketakutan itu cuma ada di benak," Bang Suandi ingatkan

Kekhawatiran memang bagaikan momok yang sering kali menjalar di kehidupan orang Kristen (dan umat apapun di dunia sepertinya). “Kekhawatiran itu tanda ketidapercayaan kita akan anugerah dan pemeliharaan Tuhan di masa depan,” kalau kata John Piper di buku Battling Unbelief. Kita tak percaya Tuhan berikan nilai yang bagus sehingga kita khawatir sama nilai-nilai semester. Kita ragu Tuhan menyediakan segala sesuatu (yang bahkan tak terpikirkan), sehingga kita khawatir kalau akhir bulan cuma punya uang sedikit. Sepertinya kekhawatiran itu kecil dan mudah sirna ketika Tuhan tunjukkan rahmat-Nya tak pernah berhenti di hidup kita. Tapi kekhawatiran-kekhawatiran kecil itu, kalau terus-menerus menempel di hati dan logika, bukan tidak mungkin membuat kita menyerah untuk menghadapi masa depan. Dan orang yang menyerah, sama saja dengan orang mati. Tidak ada harapan untuk kehidupan lebih baik itu, sejatinya tidak bisa disebut hidup.

Oke deh. Kenapa ngomongin kekhawatiran sih? Ini kan tentang kelas menulis bersama Bang Sam. 😀 Saya cuma teringat sama percakapan dengan abang yang bijak ini beberapa saat lalu. Kekhawatiran itu saya dapati sewaktu mengumpulkan tugas pertama. Tulisan saya berjudul, “Cinta Tuhan, Cinta Bangsa, dan Cinta Bahasa”. Karena dikerjakan dengan kejar-kejaran sama waktu, saya merasa tulisan itu jelek. Waktu kekasih saya komentari pun, saya tetap merasa tulisan itu jelek. Terutama di bagian ide dan alur. Jadi saya khawatir Bang Sam berpikiran sama.

Lagi-lagi Tuhan mengejutkan saya. Tulisan saya memang tak sempurna. Tapi ketika mengoreksi tulisan saya, ini yang Bang Sam tuliskan: “Ide bagus, tapi keruntutan alur belum maksimal; urutan “cinta” dalam judul beda dengan “cinta” yang dibahas dalam isi. Pengalimatan baik, kecuali beberapa yang dikomentari. Usaha membagi artikel patut dihargai.” Lalu, Bang Sam ukir gambar senyum di situ. Yihhaaaaaaa. “Tidak jelek,” pikir saya. Bisa saja lebih buruk dari itu, kan?

Kalau ditanya puas, tidak juga. Saya cuma tahu, lain kali, kerjakan saja yang terbaik. Kalau standar juru ajar saya itu tidak sama, saya coba kejar standarnya. Dan kalau sudah dibilang bagus, sadar kalau masih ada tulisan yang lebih bagus di kelas..

Tentang pertemuan kelas menulis, kami diajarkan bahwasanya ide itu ada dalam segala sesuatu. Kita hanya harus lebih peka dan taruh perhatian pada hal-hal di sekitar kita. Rumusnya sederhana: Objek –> Amati–> Ide –> Tuliskan. Sederhana rumusnya tapi tak semudah itu mempraktekkannya kalau kita sibuk sama diri sendiri dan tidak peduli sama sekitar. Berkaitan dengan itu, peserta kelas diberi tugas mengutarakan setidaknya satu pribahasa setiap pertemuan kelas menulis. Rumus di atas tentunya harus dipakai. Dan masih ada tugas menulis dari bacaan, yaitu dari pasal terakhir di buku Memandu Bangsa: Ide-ide Nasrani untuk Kemajuan Negeri. Kalian masih belum punya bukunya? D’ohhh! 😛

 

Gambarnya dipinjem dari sini, pembaca.

Diajarin Menulis (3)

Mari Menulis!:)

Mari Menulis!:)

 

Kembali lagi dengan saya, yang akan meringkas kelas menulis bersama Bang Sam. Sudah masuk pertemuan ketiga. Kali ini tugas pertama dikumpulkan. Dan ini yang menimpa hati dan logika: “Haduh ga layak kumpul banget ini, ide tulisan gw biasa banget. Alurnya juga masih hancur deh. Beneran nih cuman dikasih satu halaman untuk menuangkan ide?” Tapi tak mau saya menyerah sebelum berperang. Kumpulkan sajalah dulu. Semoga pikiran dan perasaan saya itu tidak sejalan dengan Bang Sam. 😀

Di pertemuan ketiga ini, Bang Sam mengenalkan cara baca yang unik. Loh, kok cara baca, bukannya kelas menulis, ya? Jadi gini loh, saudara-saudara, penulis yang baik pastilah juga pembaca yang baik, dan tidak selalu berlaku kebalikannya. “Bacaan adalah perbekalan penulis untuk membuat bacaan sendiri,” begitu dituliskan Bang Sam dalam panduan “Pelatihan Menulis 2010”.

Cara baca pertama yakni membaca dengan mata ayam. Wow. Saya kan tidak pernah jadi ayam, bagaimana bisa membaca dengan mata ayam? Halooo, dikau tak perlu ke bulan untuk tahu gravitasi tak berlaku di bulan. Kita punya peneliti untuk itu. Terima kasih pada Tuhan. Cara baca mata ayam berarti penulis mengikuti bacaan “dari bawah” dan menikmati semua yang bisa dilihatnya, sebut saja kosa kata, kalimat, ejaan, tanda baca, ide, dll.

Yang kedua,penulis bisa gunakan mata burung ketika membaca. Cara kedua ini saya sebut cara membaca dengan cerdas. Penulis melihat alur bacaan “dari atas” untuk mendapatkan hubungan antar-unsur-unsur yang terlihat “dari bawah” (dari mata ayam). Setelah itu, penulis mengambil simpulan-simpulan dari penglihatan menyeluruh.
Baca lebih lanjut